Kupang, NTT – Khairul Fahmi, pengamat dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), menyoroti kasus Prada Lucky Namo sebagai pukulan serius terhadap kredibilitas proses pembinaan internal TNI Angkatan Darat. Ia menekankan bahwa insiden yang menewaskan prajurit tersebut bukan sekadar kasus tunggal, tetapi mencerminkan masalah struktural dalam membedakan antara pembinaan dan kekerasan.
Menurut Fahmi, barak seharusnya menjadi tempat paling aman bagi prajurit, bukan lokasi di mana nyawa direnggut oleh sesama anggota. Ia menilai kejadian ini menunjukkan kegagalan kolektif dalam menegakkan prinsip disiplin yang manusiawi, sekaligus memicu penilaian negatif publik terhadap institusi militer.
Fahmi menyoroti pentingnya persidangan yang sedang berlangsung di Pengadilan Militer III‑15 Kupang pada Desember 2025. Ia menyebut sidang ini tidak hanya menentukan nasib terdakwa, tetapi juga menjadi tolok ukur kemampuan hukum militer dalam memberikan keadilan substantif bagi korban dan keluarga Prada Lucky.
Terkait tuntutan jaksa, yakni hukuman penjara enam hingga sembilan tahun serta pemecatan dari dinas militer terhadap sejumlah terdakwa, Fahmi menilai langkah tersebut sebagai awal yang diperlukan untuk memperkuat akuntabilitas. Namun, ia menekankan bahwa hukuman tersebut harus dibarengi dengan reformasi struktural dalam pelatihan dan pembinaan mental prajurit.
Fahmi menegaskan bahwa sidang Desember bukan hanya soal pidana individual. Proses ini menjadi momen penting untuk menguji sejauh mana hukum militer mencerminkan rasa keadilan publik, termasuk pemulihan hak korban yang signifikan.
Selain itu, ia menyerukan evaluasi berkelanjutan terhadap mekanisme pembinaan senior‑junior di TNI agar pola kekerasan yang berujung kematian tidak terulang. Evaluasi ini diharapkan menghasilkan standar operasional yang jelas dan penilaian berkala terhadap kesehatan mental prajurit.
Dalam pandangannya, kasus Prada Lucky mencerminkan kegagalan kolektif, bukan hanya individu. Komandan peleton dan struktur komando juga perlu dinilai peranannya dalam membentuk budaya disiplin yang sehat di lingkungan militer.
Fahmi juga menekankan pentingnya pendekatan konsisten dan transparan oleh hakim dan jaksa selama persidangan. Keputusan yang dihasilkan diharapkan tidak hanya bersifat represif, tetapi juga restoratif bagi keluarga korban dan masyarakat luas. Ia menambahkan, pengawasan oleh masyarakat sipil dan lembaga independen perlu dilakukan agar tidak muncul kesan perlindungan berlebihan terhadap oknum militer.
Terkait jadwal persidangan, sidang lanjutan kasus Prada Lucky Namo dijadwalkan berlangsung pada Selasa, 29 Desember 2025, dengan agenda duplik dari penasihat hukum terdakwa. Sidang ini menjadi penting untuk menilai konsistensi proses hukum dan memastikan keadilan bagi keluarga Prada Lucky.
Fahmi menutup pernyataannya dengan harapan bahwa persidangan ini menjadi momentum bagi TNI untuk memperkuat tata kelola, pelatihan, dan pembinaan yang menghargai hak asasi manusia, sehingga tragedi serupa tidak terulang di masa depan.
