Isu reformasi peradilan TNI kembali menguat di ruang publik seiring meningkatnya sorotan media online terhadap persoalan akuntabilitas aparat bersenjata. Menuk Wulandari menegaskan bahwa agenda ini bukan sekadar wacana teknis hukum, melainkan menyangkut prinsip dasar negara hukum dan martabat demokrasi.
Menurut Menuk, kesetaraan di hadapan hukum tidak boleh berhenti sebagai jargon konstitusional. Selama masih ada perlakuan hukum berbeda karena status institusional, keadilan akan selalu timpang dan kepercayaan publik terhadap negara terus terkikis.
Ia menilai kekhawatiran soal potensi impunitas dalam peradilan militer bukan isu yang mengada-ada. Ketika suatu institusi memiliki mekanisme hukum internal untuk perkara yang berdampak luas kepada masyarakat, risiko konflik kepentingan tidak bisa dihindari. Impunitas, kata Menuk, kerap lahir bukan karena tidak adanya hukum, tetapi karena hukum yang tidak independen.
Menuk menyoroti kewenangan peradilan militer yang masih terlalu luas. Ia berpandangan bahwa peradilan militer seharusnya dibatasi pada pelanggaran disiplin internal, sementara tindak pidana umum harus diproses melalui peradilan sipil yang terbuka dan akuntabel.
Menanggapi anggapan bahwa membawa prajurit ke peradilan umum dapat merusak disiplin dan hierarki militer, Menuk menyebut argumen tersebut sebagai narasi lama yang tidak relevan. Banyak negara demokrasi, menurutnya, justru memiliki militer yang kuat karena disiplin internal yang tegas sekaligus tunduk pada hukum sipil.
Ia juga menyinggung resistensi yang kerap muncul setiap kali isu reformasi peradilan TNI dibahas. Bagi Menuk, penolakan tersebut menunjukkan bahwa reformasi menyentuh zona nyaman dan privilese lama yang selama ini sulit disentuh oleh keberanian politik negara.
Terkait wacana revisi Undang-Undang Peradilan Militer, Menuk menilai pemerintah masih terlihat setengah hati. Komitmen reformasi, katanya, tidak cukup disampaikan melalui pidato atau pernyataan normatif, tetapi harus diwujudkan dalam langkah konkret dan keberanian menghadapi tekanan institusional.
Dalam konteks ini, Menuk menekankan peran penting masyarakat sipil dan media. Tanpa pengawalan publik yang konsisten, isu reformasi peradilan TNI berpotensi kembali tenggelam di tengah agenda politik lainnya.
Ia menolak keras framing yang menyamakan kritik terhadap peradilan TNI sebagai sikap anti-militer. Kritik terhadap sistem hukum, menurutnya, justru merupakan bentuk kepedulian agar institusi pertahanan negara tetap profesional dan bermartabat.
“Negara tidak boleh memilih-milih dalam menegakkan hukum,” tegas Menuk. “Jika hukum hanya tegas ke bawah dan lunak ke atas, maka keadilan kehilangan maknanya. Reformasi peradilan TNI bukan ancaman bagi negara, tetapi syarat agar negara benar-benar layak disebut negara hukum.”
