Jakarta — Pengamat kebijakan publik Fernando Emas menyoroti adanya perbedaan tingkat akuntabilitas dalam penegakan hukum di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Menurutnya, mekanisme pengawasan yang lebih terbuka di tubuh Polri mendorong proses hukum berjalan lebih transparan dibandingkan dengan sistem peradilan di lingkungan TNI.
Fernando menilai, meskipun Polri masih menghadapi berbagai tantangan internal, keberadaan pengawasan eksternal seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Ombudsman, serta kontrol dari publik dan media berperan penting dalam mendorong akuntabilitas institusi kepolisian. Kondisi tersebut, kata dia, berbeda dengan TNI yang hingga kini masih menggunakan sistem peradilan militer dengan tingkat keterbukaan yang terbatas.
“Perbedaan ini berpotensi menimbulkan persepsi adanya standar yang tidak sama dalam penegakan hukum,” ujar Fernando dalam keterangannya kepada media, Rabu (10/12/2025).
Ia menilai ketimpangan tersebut dapat berdampak pada kepercayaan publik terhadap negara. Menurutnya, ketika satu institusi berada dalam pengawasan publik yang ketat, sementara institusi lainnya relatif tertutup, maka prinsip persamaan di hadapan hukum menjadi sulit terwujud secara utuh.
Fernando menegaskan bahwa supremasi hukum harus berlaku bagi seluruh aparat negara tanpa pengecualian. Ia menilai, penerapan hukum yang setara merupakan salah satu kunci untuk menjaga keadilan serta mencegah terulangnya pelanggaran serupa di kemudian hari.
Dalam pandangannya, isu impunitas dan reformasi peradilan militer merupakan bagian penting dari agenda penguatan demokrasi. Fernando menekankan bahwa wacana tersebut tidak dimaksudkan untuk melemahkan TNI, melainkan untuk memperkuat profesionalisme dan integritas institusi pertahanan negara.
Ia juga menyoroti masih berulangnya kasus kekerasan yang melibatkan oknum prajurit TNI. Menurutnya, kondisi tersebut perlu menjadi bahan evaluasi bersama, khususnya terkait efektivitas sistem penegakan hukum dan pengawasan internal di lingkungan militer.
Fernando berpandangan bahwa keberadaan dua sistem peradilan—peradilan militer dan peradilan umum—perlu ditinjau secara komprehensif agar tidak menimbulkan ketimpangan perlakuan hukum. Ia menilai, tindak pidana umum yang dilakukan anggota TNI seharusnya diproses melalui mekanisme hukum yang menjamin transparansi dan akuntabilitas.
Terkait hal itu, Fernando mendorong revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Menurutnya, revisi regulasi tersebut dapat menjadi bagian dari upaya reformasi sektor keamanan yang berorientasi pada penegakan hukum yang adil dan setara.
Selain perubahan regulasi, ia menekankan pentingnya penguatan pembenahan internal di tubuh TNI, termasuk pengawasan, penegakan kode etik, serta pembangunan budaya disiplin yang konsisten.
Fernando berharap pemerintah dan DPR dapat memberikan perhatian serius terhadap isu reformasi peradilan militer. Ia menilai, komitmen politik yang kuat dibutuhkan agar upaya peningkatan akuntabilitas penegakan hukum dapat berjalan secara berkelanjutan.
Ia menegaskan akan terus mengikuti dan mengawal perkembangan isu tersebut sebagai bagian dari kontribusi masyarakat sipil dalam mendorong penguatan supremasi hukum dan demokrasi di Indonesia.
